Iklan

Krisis Hukum di Negeri Hukum: Saat Penegak Hukum Jadi Pelanggar Hukum

Senin, 20 Oktober 2025, Oktober 20, 2025 WIB Last Updated 2025-10-21T01:35:02Z

 

Tepat di tengah hiruk-pikuk ibukota pada 20 Oktober 2025, suara publik kembali menyoroti satu hal yang kian memprihatinkan: penyalahgunaan dan manipulasi hukum oleh mereka yang seharusnya menjunjung tinggi keadilan. Ketika hukum seharusnya menjadi instrumen perlindungan dan penegakan keadilan, hari ini ia justru terlihat digunakan sebagai alat kekuasaan dan keuntungan oleh individu maupun kelompok yang paham celah-celah dalam sistem.


1. Ketika Penegak Hukum Salah Menafsirkan Aturan

Beberapa waktu terakhir, mencuat sejumlah kasus di mana jaksa penuntut umum diduga salah menerapkan hukum dalam tuntutan pidana. Salah satu contoh menonjol berasal dari kasus korupsi tingkat daerah, di mana terdakwa dikenakan pasal yang tidak sesuai dengan konstruksi peristiwa hukum yang terjadi. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan bahkan menyatakan bahwa jaksa “keliru dalam menerapkan norma hukum pidana secara substantif.”


Fenomena ini bukan sekadar kesalahan prosedural—melainkan bentuk penyalahgunaan kekuasaan berbasis ketidaktahuan atau, lebih buruk, kehendak untuk menyesuaikan hukum dengan kepentingan tertentu.


Sebagaimana dikatakan oleh Hans Kelsen dalam Pure Theory of Law, hukum adalah sistem normatif yang berlaku secara hierarkis. Dalam teori Kelsen, norma hukum tidak boleh bergantung pada keinginan pribadi, melainkan tunduk pada struktur formal dan rasional. Namun, dalam praktiknya, banyak penegak hukum justru menjadikan hukum sebagai alat fleksibel yang bisa dibengkokkan sesuai pesanan.


2. Manipulasi Hukum oleh Kelompok Berkepentingan

Di sisi lain, para profesional hukum—pengacara korporasi, konsultan hukum, bahkan pejabat publik—semakin lihai menggunakan pengetahuannya untuk mengakali sistem. Dalam beberapa gugatan perdata yang kini tengah berlangsung di Pengadilan Niaga Jakarta, terlihat pola yang mencurigakan: munculnya “gugatan bayangan” (strategic lawsuits) untuk menekan pesaing bisnis, bukan demi mencari keadilan.


Modus lainnya meliputi penyembunyian bukti, pembentukan opini publik melalui media, hingga pelibatan oknum aparat penegak hukum dalam skema penyelesaian di luar pengadilan. Ini menandakan bahwa hukum tidak lagi netral—melainkan arena bagi yang paling cerdik memanipulasinya.


Dalam konteks ini, keadilan bukan lagi soal benar dan salah, melainkan soal siapa yang lebih berpengaruh dan memiliki akses terhadap instrumen hukum. ***


3. Sistem Hukum yang Lemah: Kritik Struktural

Masalah-masalah di atas tidak bisa dilepaskan dari kerangka hukum yang belum sepenuhnya matang. Indonesia memang menganut sistem hukum tertulis (civil law), tetapi inkonsistensi peraturan, lemahnya pengawasan institusi peradilan, dan minimnya akuntabilitas membuat celah penyalahgunaan terbuka lebar.


Sejumlah akademisi hukum menilai bahwa sistem hukum Indonesia masih gagal menjawab kebutuhan zaman. Salah satu sorotan utama adalah tidak adanya mekanisme korektif yang efektif saat terjadi penyalahgunaan hukum oleh institusi formal. Komisi Yudisial, misalnya, seringkali terbatas dalam wewenang menindak pelanggaran etika oleh hakim.


Jika mengacu pada prinsip keadilan substantif, seperti yang dikembangkan dalam pemikiran post-Kelsenian, hukum tidak hanya harus sah secara formal, tetapi juga adil dalam penerapannya. Sayangnya, dalam banyak kasus di Indonesia, hukum berhenti pada formalitas, tanpa mempertimbangkan keadilan sosial yang menjadi ruh utama hukum dalam masyarakat demokratis.


4. Jalan Keluar: Menuntut Integritas dan Reformasi Hukum

Solusi atas krisis ini tidak cukup hanya dengan menambal kesalahan secara kasus per kasus. Yang dibutuhkan adalah reformasi menyeluruh terhadap sistem hukum—dari pendidikan hukum, rekruitmen hakim dan jaksa, hingga pengawasan ketat terhadap lembaga penegak hukum.


Transparansi, akuntabilitas, dan independensi harus menjadi fondasi utama. Penegak hukum harus memiliki integritas moral dan kompetensi intelektual. Pendidikan hukum pun perlu ditekankan tidak hanya pada hafalan undang-undang, tetapi juga etika dan filsafat hukum yang mengakar.


Kita harus kembali pada esensi hukum sebagai alat keadilan, bukan kekuasaan. Seperti dikatakan Kelsen, "law is not what it is, but what it ought to be." Hukum bukan sekadar norma, tetapi janji sosial yang harus ditepati.


Penutup:

20 Oktober 2025 menjadi pengingat pahit bahwa negeri ini masih harus berjuang keras agar hukum berdiri tegak bukan untuk yang kuat, tetapi untuk yang benar. Jika tidak, kita akan terus hidup dalam ilusi negara hukum, sementara keadilan hanya tinggal slogan kosong di dinding-dinding institusi. ***

Komentar

Tampilkan

  • Krisis Hukum di Negeri Hukum: Saat Penegak Hukum Jadi Pelanggar Hukum
  • 0

Terkini