
TERNATE. Buser Fakta Pendidikan.Com
Sengketa kepemilikan lahan di Kelurahan Ubo-Ubo, Kecamatan Ternate Selatan kembali memanas setelah Kepolisian Daerah (Polda) Maluku Utara mengeluarkan somasi kepada warga dengan tenggat waktu 60 hari. Padahal, berdasarkan jejak dokumen dan kesepakatan masa lalu, terdapat inkonsistensi yang mencolok antara komitmen hibah lahan tahun 2020 dengan klaim kepemilikan saat ini.
*Hibah Lahan 2020:Janji Yang Dilupakan*?
Ironi muncul ketika melihat kembali kesepakatan 16 November 2020antara Polda Maluku Utara dan Pemerintah Kota Ternate. Saat itu, Polda Malut secara resmi menghibahkan lahan seluas 6,8 hektar di Kelurahan Ubo-Ubo kepada Pemkot Ternate melalui Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan.
Kesepakatan hibah ini dicapai setelah pertemuan pada 16 November 2020 antara Polda Malut dan Pemkot Ternate, dengan lahan yang dihibahkan mencakup 6,8 hektar terdiri dari pemukiman dan fasilitas umum. Sebagai imbal balik, Pemkot Ternate menghibahkan sejumlah aset berupa tanah dan bangunan di beberapa lokasi, termasuk kantor eks DPRD Kota Ternate.
Yang menarik, hibah tersebut mencakup area yang kini justru menjadi objek Sport Hall Marimoi senilai Rp 28 miliar yang dibangun dengan dana APBD Kota Ternate. Sport Hall ini diresmikan dengan peletakan batu pertama oleh Wali Kota Ternate H. Burhan Abdurahman bersama jajaran Forkompimda, dan merupakan yang pertama di Maluku Utara.
*Somasi Kontroversial Cacat Hukum dan Inkonsistensi*
Namun, plot twist terjadi pada Mei 2025 Kapolda Maluku Utara mengeluarkan surat somasi kedua terhadap warga di tiga kelurahan (Ubo-ubo, Kayu Merah, dan Bastiong Karance) terkait sengketa tanah seluas 45.735 m² berdasarkan Hak Pakai Nomor 3.
Praktisi hukum Iswan Samma, SH saat diwawancara awak media pada Senin, (26/5/2025) mengkritik keras somasi ini karena mengandung cacat hukum fundamental. Salah satu pihak yang disomasi, Saleh Muhammad, dilaporkan telah meninggal dunia beberapa tahun lalu, menunjukkan ketidakcermatan dalam penyusunan somasi.
*Tokoh Pers Bersuara: Kritik Terhadap Kebikjakan Polda Malut*
Zulfikli Makatita, tokoh masyarakat dan pers di Maluku Utara, mengajak Kabid Humas Polda Maluku Utara dan Kapolda untuk lebih cermat dalam mengambil keputusan. "Jangan lupa rajin-rajin baca berita online dan banyak bertanya kepada pejabat sebelumnya terkait lahan Ubo-Ubo dan kelurahan lainnya," tegas Makatita.
Makatita menekankan adanya kesepakatan dengan pemerintah kota dan Polda Maluku Utara yang menghasilkan berdirinya gedung olahraga di Ubo-Ubo. "Itu maka jangan terburu-buru buat statement yang menguntungkan sepihak dan menakut-nakuti warga masyarakat," kritiknya.
*BPN Ternate : Tanah Negara Yang Masih Bermasalah*
Badan Pertanahan Nasional (BPN) Ternate memperkeruh situasi dengan menyatakan bahwa lahan pembangunan Sport Hall di Kelurahan Ubo-Ubo merupakan tanah milik negara, namun BPN saat ini masih menunda proses penerbitan sertifikatnya.
Kepala BPN Ternate Achmad Ady Shufi Dahlan menjelaskan: "Untuk Sport Hall, sementara ini kita tunda penerbitan sertifikatnya. BPN bersama Pemkot Ternate sedang mencari solusi dengan pihak Polda Maluku Utara".
*Warga Tanah Adat Turun Temurun*
Di sisi lain, warga Ubo-Ubo dan Kayu Merah mengklaim telah mendiami lahan tersebut sejak era kolonial. "Kakek-nenek kami, termasuk anggota Brimob zaman dulu, sudah tinggal di sini. Kami tidak pernah terima surat somasi hingga 2025 ini," kata warga Kayu Merah yang tidak mau disebutkan namanya.
Iswan Samma menekankan pentingnya transparansi: "Hak Pakai harus memiliki riwayat jelas: kapan diterbitkan, oleh siapa, dan bagaimana proses peralihannya. Masyarakat telah menempati tanah ini turun-temurun selama puluhan tahun, bahkan sebelum Indonesia merdeka".
*Posisi Pemerintah Daerah; Fasilitator Yang Diam*
Wali Kota Ternate M. Tauhid Soleman dalam pertemuan dengan Kapolda Maluku Utara Irjen Pol. Waris Agono menyatakan komitmen Pemerintah Kota untuk menjadi fasilitator dalam penyelesaian persoalan agraria tersebut.
Namun, kritik tajam datang dari praktisi hukum yang mempertanyakan keengganan eksekutif dan legislatif daerah. "Ini bukan kasus baru. Wali Kota dan anggota DPRD seharusnya mengambil langkah mediasi, bukan diam saja," kritik Iswan Samma.
*Pertanyaan Mendasar Legitimasi Hukum Vs Komitmen Politik*
Kasus ini mengungkap pertanyaan fundamental tentang konsistensi kebijakan dan komitmen politik. Bagaimana mungkin lahan yang telah dihibahkan secara resmi pada 2020 dan digunakan untuk pembangunan fasilitas publik senilai puluhan miliar rupiah, kini menjadi objek somasi kepada masyarakat?
Gubernur Maluku Utara yang baru, Penjabat Gubernur Drs. H. Samsuddin A. Kadir, M.Si, juga mendapat sorotan untuk turun tangan menyelesaikan konflik ini, mengingat dampaknya terhadap stabilitas sosial dan investasi publik.
*Analisis Hukum Cacat Prosedural dan Substansial*
Berdasarkan UU No. 5/1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), Pasal 24 UUPA mensyaratkan Hak Pakai hanya diberikan kepada warga Indonesia, badan hukum, atau instansi pemerintah dengan jangka waktu tertentu. Jika klaim POLRI benar, Kapolda wajib membuktikan legalitas sertifikat dan proses perolehannya.
Pasal 53 UUPA juga mewajibkan sertifikat tanah didukung bukti kepemilikan historis yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
*Dampak Terhadap Fasilitas Publik*
Sport Hall Marimoi yang telah beroperasi dan menjadi kebanggaan masyarakat Ternate kini terancam statusnya. Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Ternate yang telah menerima penyerahan aset Sport Hall dari PUPR pada 14 Januari 2022 dan telah mengelolanya sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), kini menghadapi ketidakpastian hukum.
*Rekomendasi dan Langkah Selanjutnya*
1. Moratorium Somasi: Polda Maluku Utara perlu menghentikan sementara somasi hingga ada klarifikasi status hibah 2020
2. Audit Komprehensif: Perlunya audit menyeluruh terhadap seluruh dokumen terkait sejak era kolonial hingga sekarang
3. Mediasi Multi-Pihak Melibatkan BPN, Kemendagri, Polda, Pemkot, dan perwakilan masyarakat dalam dialog terbuka
4. Perlindungan Investasi Publik Memastikan Sport Hall dan fasilitas publik lainnya tidak terganggu operasionalnya
Kasus Ubo-Ubo bukan sekadar sengketa lahan biasa, melainkan cerminan dari inkonsistensi kebijakan dan lemahnya koordinasi antar instansi. Masyarakat yang telah mendiami lahan turun-temurun dan pemerintah daerah yang telah menginvestasikan dana publik tidak boleh menjadi korban dari ketidakkonsistenan ini.
"Transparansi, konsistensi, dan itikad baik dari semua pihakmenjadi kunci penyelesaian konflik yang telah berlangsung puluhan tahun ini. Jangan sampai fasilitas publik yang telah memberikan manfaat bagi masyarakat menjadi tumbal dari sengketa yang sebenarnya dapat diselesaikan melalui koordinasi yang baik." pungkas Iswan Samma. (Tim/Red).