Kota Bekasi, Buserfaktapendidikan.com
Dinas Pendidikan Kota Bekasi disorot publik atas pengadaan mesin pencacah sampah untuk seluruh SMP Negeri yang dinilai tidak tepat guna. Ratusan juta rupiah dari APBD tahun 2024 digunakan untuk pembelian alat yang kini sebagian besar mangkrak dan tak digunakan di sekolah-sekolah.
Berdasarkan data, hingga 2025 tercatat ada 62 SMP Negeri di Kota Bekasi. Masing-masing sekolah menerima satu unit mesin pencacah sampah dengan estimasi harga per unit mencapai ratusan juta rupiah. Program ini dijalankan saat Uu Saipul Mikdar menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Kota Bekasi. Saat ini, Uu telah pensiun, namun program tersebut masih menyisakan persoalan, terutama terkait akuntabilitas pelaksanaannya.
Sejumlah kepala sekolah yang dihubungi menyatakan bahwa mesin tersebut tidak pernah digunakan karena tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah.
“Sekolah kami tidak menghasilkan sampah dalam jumlah besar. Mesin itu tidak pernah digunakan karena tidak ada fungsinya di lingkungan kami,” ujar seorang kepala sekolah yang enggan disebutkan namanya.
Pihak sekolah mengaku tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan pengadaan. Tidak ada pelatihan, sosialisasi, atau panduan pemanfaatan mesin tersebut. Akibatnya, banyak mesin kini dibiarkan menumpuk, berkarat, bahkan menjadi rongsokan di sudut-sudut sekolah.
“Mesin dikirim begitu saja tanpa penjelasan. Sekolah bukan tempat pengelolaan sampah skala besar,” ungkap kepala sekolah lainnya.
Warsim, Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bekasi yang saat itu turut menjabat, disebut masih aktif hingga kini. Namun upaya konfirmasi wartawan pada Rabu (21/10) di kantor Dinas Pendidikan tidak membuahkan hasil. Petugas keamanan menyampaikan bahwa Warsim sedang sibuk. Sementara, panggilan telepon dan pesan WhatsApp dari wartawan juga tidak direspons.
Hingga berita ini diturunkan, Dinas Pendidikan belum memberikan keterangan resmi terkait perencanaan dan evaluasi pengadaan mesin pencacah tersebut. Tidak jelas pula apakah proyek ini melalui kajian kebutuhan di lapangan atau hanya sekadar program seremonial tanpa manfaat riil.
Pengamat kebijakan publik menilai program seperti ini berpotensi menjadi pemborosan anggaran jika tidak disertai analisis kebutuhan yang matang dan pengawasan ketat.
“Setiap anggaran publik harus didasarkan pada kebutuhan nyata, bukan asumsi. Sekolah bukan TPS. Jika alat seperti ini tidak digunakan, berarti ada kegagalan dalam perencanaan,” kata seorang akademisi dari Universitas Swasta di Bekasi.
Lembaga pengawas anggaran dan masyarakat sipil diharapkan segera menindaklanjuti temuan ini dan meminta pertanggungjawaban pihak-pihak terkait. Apalagi dana publik yang digunakan bukan jumlah kecil.
Redaksi masih berupaya menghubungi pihak-pihak terkait untuk klarifikasi lebih lanjut. (Pas/Red)



