
Jakarta Buser Fakta Pendidikan. Com
Proyek pembangunan fasilitas olahraga di lingkungan Kantor Wali Kota Jakarta Pusat kembali menuai sorotan tajam. Proyek yang dibiayai APBD DKI Jakarta Tahun Anggaran 2025 itu diduga memanfaatkan arus listrik secara ilegal dari tiang penerangan jalan umum (PJU), tanpa sambungan resmi dari PLN.
Pantauan wartawan di lokasi memperlihatkan kabel listrik terbentang dari tiang PJU langsung ke area proyek. Ironisnya, tak terlihat adanya genset atau sumber listrik mandiri, sebagaimana lazim digunakan dalam proyek pemerintah.
Sejumlah pekerja mengaku tidak mengetahui teknis penyambungan listrik, dan hanya menyarankan wartawan bertanya kepada pihak yang mereka sebut sebagai “bos”. Namun, wanita yang ditunjuk para pekerja enggan memberi keterangan dan justru memilih meninggalkan lokasi.
Lebih mencurigakan lagi, papan proyek yang biasanya wajib mencantumkan besaran anggaran, sumber dana, serta pelaksana kegiatan tidak dipasang. Hal ini diduga melanggar Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik serta Perpres Nomor 54 Tahun 2010 jo. Perpres Nomor 70 Tahun 2012 yang mewajibkan transparansi dalam proyek pemerintah.
Saat dikonfirmasi, Khuzairi, Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) Sudin Olahraga Jakarta Pusat, justru berkelit. Ia mengklaim penyambungan listrik dari PJU bukan pencurian, melainkan legal karena sudah ada surat resmi dari Sudin terkait.
“Kami tidak nyuri, bos. Kita minta ke PJU bersurat resmi. Penyambungan listrik juga dari PJU resmi,” ujar Khuzairi.
Namun, pernyataan itu bertolak belakang dengan kondisi di lapangan. Tidak ada meteran resmi, kabel justru tampak berantakan dan terkesan dipasang sembarangan. Hingga berita ini diturunkan, Kepala Sudin Pemuda dan Olahraga Jakarta Pusat enggan memberikan keterangan resmi.
Menanggapi hal ini, Ketua LSM JALAK (Jaring Pelaksana Antisipasi Keamanan), Muh. Syahroni, mengecam dugaan praktik curang tersebut. Ia menilai lemahnya pengawasan dari Sudin membuka ruang bagi kontraktor maupun konsultan pengawas untuk bermain nakal.
“Kalau terbukti mencuri listrik, itu pidana. Sesuai Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, ancamannya bisa tujuh tahun penjara dan denda Rp2,5 miliar. Kami siap melaporkan kasus ini ke PLN, Kadis terkait, dan aparat penegak hukum,” tegas Syahroni.
Kasus ini menjadi tamparan keras bagi integritas pengelolaan proyek pemerintah daerah. Dugaan penyimpangan seperti ini bukan hanya merugikan negara, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap program pembangunan yang dibiayai dari uang rakyat. (Red)