
Karimun. Buser Fakta Pendidikan. Com
Dugaan praktik pungutan liar (pungli) terhadap para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berangkat ke Malaysia melalui Pelabuhan Internasional Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, semakin terang benderang. Para agen keberangkatan diduga menarik biaya tambahan dari para pencari kerja yang hendak ke negeri jiran itu, tanpa dasar hukum yang jelas.
Informasi yang dihimpun dari lapangan menyebutkan, setiap calon pekerja yang berangkat ke Malaysia dikenai pungutan tambahan oleh para agen pada setiap keberangkatan. Ironisnya, praktik ini disebut-sebut melibatkan oknum petugas berinisial (J) dan staf Imigrasi yang bertugas di pelabuhan yang sama.
“Para agen ini berkoordinasi dengan staf Imigrasi berinisial (J) agar proses keberangkatan dimudahkan,” ungkap sumber di lapangan yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Padahal, para pekerja tersebut bukan berangkat dengan visa kerja, melainkan menggunakan paspor wisata atau melancong. Mereka biasanya hanya bisa berada di luar negeri sekitar 20–25 hari sebelum kembali ke Indonesia dan berangkat lagi pada trip berikutnya.
Ketua Umum LSM Forkorindo, Tohom Sinaga, SE., SH, menegaskan bahwa praktik pungutan tersebut bisa dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli) jika tidak masuk ke kas negara.
> “Biaya resmi PP (pulang–pergi) ke Malaysia hanya sekitar Rp550 ribu. Tapi para agen meminta hingga Rp1,2 juta per orang. Artinya, ada kelebihan sekitar Rp650 ribu yang tidak jelas ke mana arahnya,” tegas Tohom.
Jika dihitung dengan rata-rata keberangkatan 300–400 orang per hari, maka pungutan ilegal itu mencapai sekitar Rp195 juta per hari.
Saat dikonfirmasi, pihak Imigrasi Karimun melalui Kepala Humas, Edi, mengaku tidak mengetahui adanya pungutan tersebut. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada langkah investigasi atau penindakan yang dilakukan pihak Imigrasi di lapangan.
Tohom menilai, sikap diam pihak Imigrasi justru memperkuat dugaan adanya pembiaran.
“Kami akan menyurati dan melaporkan hal ini langsung kepada Wakil Menteri Imigrasi di Jakarta, karena praktik seperti ini sudah mencoreng citra institusi imigrasi yang sedang berbenah,” ujar Tohom.
Menurutnya, para TKI yang hanya ingin mencari nafkah layak untuk keluarga justru diperas di negeri sendiri. “Ini jelas menambah beban mereka. Pemerintah harus turun tangan,” tutupnya. (Red)