
"Setelah 8 Tahun Diintimidasi, Kasus Mawardi yang Sudah Diputus Pengadilan Kembali Dihidupkan sebagai TPPU oleh Polda NTB."
MATARAM – Buserfaktapendidikan.com
Dunia hukum kembali diguncang oleh sebuah kasus yang memunculkan banyak tanda tanya besar mengenai kepastian hukum dan keadilan di Indonesia. Seorang pria bernama Mawardi, yang sebelumnya telah memenangkan gugatan perdata atas sengketa bisnis, kembali dipanggil oleh Polda NTB dalam perkara baru dengan label Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Lebih mengherankan lagi, Mawardi dipanggil sebagai "saksi" dalam kasus yang secara substansi menyangkut dirinya sendiri.
Kuasa hukum Mawardi, Advokat Lilik Adi Gunawan, S.H., dari Kasih Hati Law Firm, menyebut peristiwa ini sebagai bentuk "pelanggaran sistematis terhadap asas hukum pidana" dan menuntut evaluasi menyeluruh terhadap proses penegakan hukum. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa, 9 Juli 2025.
Kronologi: Kasus Lama, Label Baru
Kasus bermula dari perjanjian kerja sama lahan senilai Rp1,314 miliar antara Mawardi dan Hasanuddin pada 18 Maret 2017. Belakangan, Hasanuddin melaporkan Mawardi ke Polda NTB atas dugaan penipuan. Akibatnya, Mawardi ditahan pada 31 Mei 2018.
Namun, pada 6 Maret 2019, Pengadilan Negeri Mataram memutuskan bahwa dalam sengketa perdata, Mawardi tidak bersalah. Sebaliknya, Hasanuddin yang dinyatakan wanprestasi. Pengadilan menyatakan bahwa perjanjian sah dan Mawardi berhak menerima pembayaran.
“Putusan pengadilan sudah sangat jelas: klien kami adalah korban, bukan pelaku,” tegas Lilik.
Pemanggilan Aneh: Saksi dalam Kasus Sendiri
Pada 25 Juni 2025, Mawardi menerima surat panggilan dari Polda NTB untuk diperiksa sebagai "saksi" dalam laporan TPPU yang tercatat dengan nomor LP/B/137/X/2023/NTB/SPKT. Advokat Lilik menyebut ini sebagai bentuk penyamaran status tersangka.
“Ini absurd. Bagaimana mungkin seseorang dipanggil sebagai saksi untuk kasusnya sendiri? Ini menabrak logika hukum pidana,” ujar Lilik sambil memperlihatkan dokumen surat panggilan.
Mantan Hakim Agung Prof. Dr. Artidjo Alkostar menilai, “Secara teoritis dan praktis, ini sangat tidak lazim. Dalam hukum, seseorang tidak bisa menjadi saksi dan objek penyidikan dalam kasus yang sama.”
Potensi Pelanggaran Asas Ne Bis in Idem
Profesor Hukum Pidana UI, Dr. Eddy Hiariej, menjelaskan bahwa kasus ini berpotensi melanggar asas ne bis in idem, yang termaktub dalam Pasal 76 KUHP: seseorang tidak boleh diadili dua kali atas perbuatan yang sama.
“Meski judulnya TPPU, substansinya tetap sama: perjanjian 2017, pihak yang sama, uang yang sama, lokasi dan waktu yang sama. Ini hanya pergantian label hukum, bukan substansi,” terang Eddy.
Ia juga menambahkan, “TPPU mensyaratkan adanya tindak pidana asal yang terbukti. Jika penipuan tidak terbukti, tidak ada landasan untuk menjerat seseorang dengan TPPU.”
Dampak Psikologis dan Ekonomi
Selama delapan tahun berhadapan dengan proses hukum, Mawardi mengaku mengalami tekanan psikologis yang berat. Bisnisnya hancur, reputasinya rusak, dan keluarganya hidup dalam ketidakpastian.
“Saya sudah menang di pengadilan, tapi kenapa terus diburu? Ini intimidasi,” kata Mawardi.
Istrinya pun menangis saat menceritakan dampak terhadap anak-anak mereka. “Mereka terus bertanya, kenapa ayah dipanggil polisi lagi?”
Desakan Evaluasi Sistem
Ahmad Yani dari Indonesian Legal Aid Foundation (ILAF) mendesak Kompolnas dan Ombudsman untuk turun tangan.
“Kasus seperti ini tidak boleh dibiarkan. Penegakan hukum seharusnya tidak menjadi alat intimidasi,” tegasnya.
Pengamat hukum CSIS, Dr. Bivitri Susanti, mengatakan kasus ini mencerminkan masalah struktural dalam sistem peradilan Indonesia. “Kalau seperti ini, bagaimana rakyat bisa percaya pada sistem hukum?” ujarnya.
Respons Polda NTB
Kabid Humas Polda NTB, AKBP Artanto, mengatakan bahwa penyidikan dilakukan berdasarkan laporan masyarakat dan bukti-bukti awal.
“Status hukum masih dalam proses evaluasi,” katanya. Namun, pihak Polda belum menjelaskan secara spesifik alasan dibalik dilanjutkannya penyidikan TPPU atas kasus yang telah diputus secara perdata.
Langkah Hukum dan Tuntutan Transparansi
Kuasa hukum Mawardi menyatakan akan menempuh sejumlah langkah hukum:
1. Mengajukan praperadilan atas penyidikan TPPU.
2. Melaporkan penyalahgunaan wewenang ke Propam Polri.
3. Mengadukan ke Ombudsman RI atas dugaan maladministrasi.
4. Meminta gelar perkara khusus ke Kapolda NTB.
“Ini bukan hanya soal Mawardi. Ini soal penegakan hukum yang adil dan transparan,” tegas Lilik.
Sorotan Akademisi dan Praktisi
Prof. M. Yahya Harahap (UGM): “Putusan pengadilan harus dihormati. Kalau bisa diakali dengan kasus baru, hukum kehilangan wibawanya.”
Todung Mulya Lubis: “Kontrak bisnis yang sah bisa berubah jadi kasus pidana, ini menakutkan bagi dunia usaha.”
Komnas HAM melalui Choirul Anam menyatakan akan memantau kasus ini, sementara Kompolnas berjanji akan mengevaluasi proses penyidikan jika ditemukan pelanggaran wewenang.
Fakta Penting Kasus Mawardi
2017: Kerjasama lahan Rp1,3 miliar
2018: Ditahan atas dugaan penipuan
2019: Menang dalam perkara perdata
2023: Dilaporkan ulang dengan tuduhan TPPU
2025: Dipanggil sebagai “saksi” dalam kasus sendiri
Kesimpulan: Ujian Serius bagi Supremasi Hukum
Kasus Mawardi menjadi ujian penting bagi kredibilitas sistem hukum Indonesia. Pemanggilan seseorang sebagai saksi dalam kasus yang menyangkut dirinya sendiri, tanpa kejelasan dasar hukum yang kuat, menciptakan preseden berbahaya bagi hak asasi dan kepastian hukum.
Pertanyaannya kini: Apakah sistem hukum kita cukup kuat untuk melindungi warga dari penyalahgunaan proses hukum?. (TS/Redaksi)