
Jakarta. Buser Fakta Pendidikan.Com
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Mudyat Noor, terkait penyidikan kasus dugaan penerimaan gratifikasi dalam pengelolaan tambang batubara yang menyeret nama mantan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), Rita Widyasari.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyampaikan bahwa pemeriksaan terhadap Mudyat Noor dilakukan bersama tiga saksi lainnya, yaitu Jeffry F Pandie dan Rino Eri Rachman dari pihak swasta, serta Khalid Kasim dari PT PPA. Pemeriksaan berlangsung di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Selasa (17/6/2025).
“Materi pemeriksaan masih seputar peran para saksi dalam pengelolaan tambang batubara yang berkaitan dengan RW (Rita Widyasari),” ujar Budi kepada wartawan, Kamis (19/6/2025).
Sementara itu, dua saksi lainnya, yakni Sukianty Yenliwana Wongso dan Michelle Halim, tidak hadir dalam pemeriksaan dan telah mengajukan penjadwalan ulang.
Dalam pengembangan perkara ini, KPK juga telah memeriksa dua petinggi organisasi kemasyarakatan Pemuda Pancasila, yaitu Ketua Umum MPN PP Japto Soerjosoemarno dan Wakil Ketua Umum MPN PP Ahmad Ali, yang juga merupakan mantan Wakil Ketua Umum Partai NasDem.
Sebelumnya, penyidik KPK juga telah melakukan penggeledahan di kediaman Japto dan Ahmad Ali pada 4 Februari 2025. Dari rumah Japto, KPK menyita 11 unit mobil mewah, uang tunai sebesar Rp56 miliar, sejumlah dokumen, serta barang bukti elektronik. Dari rumah Ahmad Ali, penyidik menyita uang sebesar Rp3,4 miliar, barang-barang mewah, dokumen, dan alat bukti elektronik lainnya.
KPK menduga Rita Widyasari menerima gratifikasi senilai 5 dolar AS per metrik ton batubara selama menjabat sebagai Bupati Kukar. Ia telah ditetapkan sebagai tersangka bersama Khairudin, Komisaris PT Media Bangun Bersama, sejak 16 Januari 2018, dalam perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Rita dan Khairudin diduga menerima berbagai keuntungan dari fee proyek, perizinan, serta pengadaan barang dan jasa selama masa jabatan Rita. Nilai dugaan penerimaan tersebut mencapai sekitar Rp436 miliar, yang kemudian digunakan untuk membeli aset seperti kendaraan, tanah, serta barang lainnya, yang diduga disamarkan atas nama pihak lain. (Red)